Rabu, 31 Oktober 2007

CeRpeN aKoo yaNg IkUt LomBa SePteMbeR KeMaReN!!!!!


CINTA ANAK ROHIS
Oleh : Septika Prismasari (SMA Negeri 5 Yogyakarta)
Gemerisik daun yang digoyangkan oleh angin yang berhembus di halaman masjid sekolah menambah kesejukan yang sudah terasa di tempat ibadah nan suci itu. Memanjakan segerombolan anak-anak yang tengah asyik berbincang di serambi masjid tersebut.
“Mid, gimana nih? Rencana untuk baksos udah beres?” tanya Arman. Yang ditanya tengah sibuk dengan buku agendanya yang berisi penuh dengan hasil-hasil perundingan dan janji-janji yang bejibun banyak sekali jumlahnya.
“Yo’i, man. Udah beres semua. Tapi nggak menutup kemungkinan kalau ada yang mau menambah sumbangan lagi…” ujar Hamid, si ketua rapat pada hari itu, sejenak menatap Arman lalu meneruskan mencatat di agendanya. Anggota lain ikut mencatat di catatan masing-masing.
“Baiklah, cukup sekian rapat hari ini. Kalau ada yang masih perlu dibicarakan, bisa dibicarakan setelah forum ini selesai. Saya akhiri, wassalamu’alakum…” salam Hamid mengantumri perundingan yang telah berlangsung sejak tadi, disambut dan dijawab salam oleh seluruh anggota rapat, yang seluruhnya adalah ikhwan.
Rapat berakhir, para anggota mengemasi barang-barang mereka.
“Mid, gimana perkembangan terakhir kasus Angga?” tanya Arman kepada Hamid. Sejenak Hamid menghentikan gerakan tangannya yang hendak memasukkan agendanya ke dalam tas, lalu menghela nafas.
“Auk lah, Man. Aku sih sudah ngomong secara pribadi sama Angga, coba jelasin kedudukan dia di organisasi ini,” kata Hamid seraya mengemasi barang-barangnya.
“Hmm, terus tanggapan dia gimana?” tanya Dimas, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan dialog antara Hanid dan Arman.
“Masih susah, Dim! Sebenarnya aku nggak begitu posesif terhadap teman-teman kita yang suka pacaran, tapi ayo lah…. Sadar dong, kita ini aktivis rohis, yang punya tujuan untuk menjauhkan atau ngalihin perhatian remaja dari hal-hal nggak bener kayak gitu. Kalau pengurusnya saja kayak gitu, di mana konsistensi kita? Apa kata dunia?!” jelas Hamid dengan gayanya yang sok cool, gaya Deddy Mizwar dalam film Nagabonar Jadi 2-nya.
“Hmm, bisa dipahami, lalu apa rencana kamu ke depan?” tanya Arman dengan lagaknya yang sok serius banget. Dimas nyengir untuk menahan tawanya, melihat dua orang teman dekatnya yang kelihatan – dan mungkin juga merasa – sok penting itu. Tetapi memang masalah yang mereka bicarakan penting sih. Menyangkut nama baik organisasi yang mereka pegang.
“Tauk lah! Belum ada rencana ke depan. Susah! Yah, namanya juga orang yang lagi jatuh cinta,” gerutu Hamid sambil menyampirkan tas ke pundaknya.
“Emang kamu pernah jatuh cinta, Mid?!” celetuk Dimas sok polos, yang disambut tawa cekakakan Arman. Hamid melotot ke arah Dimas dengan pandangan yang seakan mengatakan Gue – makan – lu – hidup – hidup!
***
SMA Negeri Puspanegara patut merasa bangga. Meski berdomisili di daerah pinggiran, tapi kegiatan-kegiatan yang positif selalu menggebrak dan membuat sekolah lain merasa iri membuat sekolah tersebut patut diperhitungkan.
Satu hal yang begitu dibanggakan dari sekolah ini adalah Organisasi Rohis (Rohani Islam) yang selalu aktif dan mengadakan acara-acara yang positif. Hamid Pradana, ketua Rohis saat ini, yang terkenal dengan ketegasan dan kedisiplinannya, menjadikan rohis semakin menebalkan kesungguhan mereka dalam menegakkan agama yang mereka yakini tersebut. Tetapi bukan berarti mereka menjadi fanatik dan tertutup dengan pergaulan luar. Gaul tetap menjadi keseharian mereka. Malu lah, masak anak rohis gaptek?! Rohis mereka jalankan dengan tegas. Contoh saja kasus si Angga, anggota Rohis divisi wirausaha (yang bertugas mencari-cari dana). Kabarnya dia pacaran dengan juniornya, anak kelas 10. Kontan Hamid, yang notabene secara pribadi anti banget sama yang namanya kayak gitu – apalagi menyangkut organisasi – langsung menemui Angga untuk meminta kejelasan kabar tersebut.
Hamid tidak ingin nama baik suatu organisasi menjadi jelek hanya karena satu orang saja yang menyimpang. Kalau kata pepatah, ibarat nila setitik rusak susu sebelanga. Rugi banget kan? Hamid pribadi berprinsip pacaran hanya akan membuat waktunya sia-sia. Ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu mudanya hanya untuk hal-hal yang nggak bermanfaat. Ia bertekad untuk bersabar demi mendapatkan yang terbaik untuk dirinya.
Tapi ketika cinta datang siapa yang kuasa untuk menolak dan menghindarinya?
***
Istirahat sekolah, ruang kelas…
“Mid, nanti ada jadwal rapat Rohis. Yang akhwat pengen kolaborasi sama ikhwan untuk kegiatan untuk baksosnya. Ini materinya,” ujar Friska sambil menyerahkan map yang berisi berkas-berkas penting.
Hamid berhenti mengerjakan tugas fisika yang belum terselesaikan saat jam pelajaran tadi.
“Thanks ya, Ka!” sahut Hamid, meraih map, sejenak melirik Friska. “Makin cantik aja, Ka! Haha….”
Friska mendelik.
“Simpen kata-kata lu. Kalau nggak, gue gibak lu!” mendadak hormon preman Pasar Minggu Friska muncul. Hamid tertawa melihat gadis pindahan dari kota metropolitan itu mengancamnya. Gadis yang baru saja masuk di organisasi Rohis itu belum sepenuhnya terlihat layaknya akhwat rohis lainnya. Tapi untungnya dia masih mau mengenakan jilbabnya. Yah, permulaan yang lumayan baik untuk gadis yang terbiasa di pergaulan yang agak bebas, batin Hamid.
Hamid membuka-buka dan membaca sekilas berkas yang dibuat kelompok akhwat.
Hm, cukup bagus juga mereka memperhitungkan hal-hal ini, batin Hamid.
Ia diam-diam mengagumi kinerja teman-teman akhwatnya. Selama ini kelompok ikhwan tidak begitu dekat dengan kelompok akhwat, padahal sebenarnya mereka bekerja dalam satu forum yang sama. Hamid sendiri mengakuinya. Dirinya merasa tidak begitu bisa berkonsentrasi jika harus berdiskusi dengan kelompok rohis perempuan. Biasanya dia menyuruh orang lain untuk mewakilinya. Tetapi saat ini tampaknya ia harus berhadapan dengan para akhwat karena sangat berkaitan dengan kesuksesan program kerja rohis.
Hamid membaca daftar nama-nama yang berperan sebagai panitia. Ia mencoba mengira-ngira kemampuan teman-temannya dalam mengkoordinir acara.
Annisa Marestia, anak IPA 4, Hamid mengenalnya. Ketua panitia pengajian Isra’ Miraj bulan lalu yang bisa dibilang sukses. Annisa berhasil menarik perhatian anak-anak untuk hadir dengan tema yang diambil untuk pengajian tersebut, “Keajaiban Isra’ Miraj dengan Logika Sains”.
Ayu Nindyasari, anak IPS 2, sangat dikenal Hamid. Koordinator panitia ulang tahun sekolah, sukses dengan acara bedah buku yang dipimpinnya. Ayu berhasil mendatangkan pengarang buku “The Great Mother of Power”, yang mampu menyerap hampir dua per tiga siswa SMA Puspanegara.
Dinda Farisa, anak Bahasa 1. Sukses sebagai ketua panitia pagelaran musik dalam rangka pekan seni dan kreativitas. Berhasil mendatangkan band Jagostu dan menggaet sejumlah sponsor dalam jumlah besar.
Hm, susunan panitia yang bagus. Banyak anak-anak yang berpotensi leadership masuk jadi panitia, batin Hamid. Matanya terus menelusuri daftar nama-nama yang ada.
“Mid!” panggil Arno, teman sekelasnya, sambil menghampiri meja Hamid. Yang dipanggil mendongak.
“Kamu tahu Deviani? Anak rohis juga. Dia ikut panitia baksos nggak?” tanya Arno. Hamid mengerutkan dahi, lalu mencoba mencari nama Deviani dalam daftar. Telunjuknya menelusuri kertas.
“Ada nih, No. Deviani Puspita, anak IPS 5. Dia ikut panitia. Emang kenapa?” tanya Hamid keheranan melihat Arno tampak kegirangan mendengarnya.
“Beneran? Wah, gila Mid! Kayaknya aku harus ikut acara baksos ini deh!” ujar Arno cengar-cengir nggak jelas. Membuat Hamid makin penasaran.
“Kamu kenapa, No? Emang si Deviani ini siapa sih?!” tanya Hamid tidak mengerti kelakuan temannya.
“Hah? Kamu nggak tahu Deviani, Mid?” tiba-tiba Hayu ikut menyahut. “Kamu nggak tahu?”
Hamid menggeleng. Hayu menepuk jidatnya sendiri.
“Aduh! Lu jadi orang cupu banget sih, Mid? Katanya ketua rohis yang gaul tapi syar’i, masak ada akhwat kiyut kayak Deviani ini kamu nggak tahu?!” keluh Hayu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Arno ikut-ikutan heran.
“Mid, masih normal sebagai laki-laki kan?!” tanya Arno, menyenggol bahu Hamid, agak keras. Hamid meringis, nyengir. Hayu dan Arno saling berpandangan, tidak mengerti.
Bel masuk berbunyi. Anak-anak IPA 1 yang memang terkenal tertib, bergegas menempatkan diri di kursi masing-masing. Hamid menyimpan berkas-berkas di dalam laci mejanya. Rasa penasaran memenuhi hatinya.
Deviani, siapa sih? batin Hamid.
***
Serambi masjid, pulang sekolah.
“Jadi baksos untuk anak jalanan ini kita konsep sedemikian untuk memudahkan kita dalam distribusi dan pengenalan antara mana anak jalanan dengan yang pura-pura jadi anak jalanan. Demikian yang dapat saya sampaikan,” kata Annisa menguraikan hasil rapat mereka dengan singkat kepada Hamid dan anggota rohis yang hadir di musyawarah siang itu.
Hamid mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Annisa.
“Bagus. Konsep kalian cukup jelas dan terperinci. Terus terang saya saja belum berpikir sejauh itu,” puji Hamid seraya mengaku. Beberapa akhwat saling berpandangan dan tersenyum.
“Tapi itu baru teorinya. Dalam pelaksanaannya belum tentu selancar dengan apa yang tertulis di atas kertas,” bantah salah seorang anggota. Annisa menoleh sejenak kepada orang yang barusan berbicara.
“Ya, itu memang baru hitam di atas putih. Tapi bagaimana kita tahu kalau kita belum mencobanya sama sekali?!” sangkal Annisa dengan tegas dan gayanya yang meyakinkan.
Hamid mengangkat tangan, ketika orang tersebut terlihat ingin membantah lagi.
“Saya setuju dengan gagasan dari teman-teman akhwat. Ini program yang sama sekali baru dan belum pernah ada sebelumnya dalam program-program organisasi rohis sebelum kita. Jadi kita tidak akan pernah tahu hasilnya kalau kita tidak mencobanya dan saya rasa, ini sesuai dengan program baksos ke panti asuhan yang kita programkan pada awal pertemuan. Saya, secara pribadi, setuju dengan konsep yang diajukan oleh teman-teman akhwat. Mungkin ada pendapat dari teman-teman lain?” tawar Hamid kepada para anggota. Tak ada yang bersuara. Dimas mengangkat tangan.
“Saya rasa program dan konsep tersebut patut dicoba,” kata Dimas setelah diberi kode untuk berbicara. Anggota lain tampak mengangguk-angguk setuju.
“Baiklah. Saya rasa teman-teman setuju dengan konsep ini. Annisa, koordinator lapangan program ini siapa?” tanya Hamid kepada Annisa.
Annisa hendak menjawab ketika seorang datang memasuki serambi masjid diiringi salam.
“Assalamu’alaikum….” yang dijawab oleh seluruh yang hadir di serambi tersebut. Sosok gadis tersebut tersenyum manis, menarik seluruh perhatian ikhwan yang ada, tak terkecuali Hamid.
“Afwan jiddan, saya terlambat. Tadi ada keperluan dengan guru.” jelas gadis tersebut, tegas tapi terdengar seperti seruling malaikat di telinga para ikhwan. Hamid sendiri tampak salah tingkah, ragu antara menjaga pandangan dengan keinginan untuk memperhatikan lagi wajah akhwat yang manis tersebut.
“E…eh! Baik, silahkan duduk,” kata Hamid mencoba menegaskan suaranya.tapi tetap saja dia merasa ada yang bergetar dalam suaranya. Gadis tersebut mengambil tempat di sebelah Annisa. Wajahnya yang menenangkan dan matanya yang bening tampak jelas memancarkan kejernihan hatinya. Hamid mencoba kembali berkonsentrasi.
“Nah, ini koordinator lapangan program ini, Mid. Namanya Deviani, anak IPS 5. Anak baru sih, tapi dia pernah punya pengalaman menangani acara seperti ini. Sekalian saja kita jadikan ajang ini untuk mengetes kemampuannya. Iya kan, Dev?” kata Annisa nyengir sambil merangkul gahu gadis, yang ternyata bernama Deviani, meminta persetujuan. Deviani hanya mengangguk, tersenyum.
Hamid terpana.
Jadi ini tho, akhwat yang diributin Hayu sama Arno tadi. Manis juga, batin Hamid memuji. Tiba-tiba Hamid merasa bersalah, berlama-lama memandang cewek yang ada di hadapannya. Dia menundukkan mata. Tuhan, ampuni aku! batinnya.
“O, anak baru? Pantas saja aku asing melihat kamu. Hm, kalau gitu, kenalan dulu saja,” kata Arman, yang berada di belakang Hamid. Sekali lagi, Deviani tersenyum.
“Baiklah! Perkenalkan nama saya Deviani Puspita, kelas IPS 5. Saya baru dua bulan di sini.” ujar Deviani mengantumri perkenalannya yang singkat.
“Deviani…” panggil seseorang.
“Panggil saja Devi.” sahut Devi cepat. Masih dengan intonasi yang tegas, tidak menimbulkan kesan mendayu-dayu pada diri gadis pindahan dari Bandung tersebut.
“Devi, nomor HP berapa?” pertanyaan yang disambut teriakan koor “Huuu….,” dari anggota yang hadir. Deviani tertawa perlahan. Kondisi akan terus seperti itu jika Hamid tidak segera menetralisir.
Rapat selesai. Tetapi menimbulkan sebercak sesuatu yang lain di hati Hamid.
***
Base camp anak jalanan, acara bakti sosial rohis SMA Puspanegara.
“Wuih, gila! Nggak nyangka bakal sesukses ini, Mid!” teriak Arman menghampiri Hamid yang mengawasi anak-anak jalanan yang sedang beristirahat dengan wajah sumringah. Hamid mengangguk.
“Iya. Kayaknya program ini harus jadi program rutin rohis, deh!” ujarnya.
“Devi juga keren, Mid. Bisa ngoordinir acara ini dengan perfect banget,” sahut Hayu.
“Orangnya juga manis,” kata Arno, yang disambut dengan hujan jitakan dari teman-temannya. Hamid ikut nyengir, ekor matanya tanpa sengaja menangkap sosok Deviani yang masih membagikan nasi bungkus kepada anak jalanan.
Deviani…
Hati Hamid bergetar saat mengucapkan nama itu dalam hatinya.
***
Malam hari, Hamid’s Private Room.
Hamid merasa tidak bisa berkonsentrasi untuk memahami sejumlah soal yang ada di hadapannya. Pikirannya terus melayang kepada sesosok orang yang dalam beberapa kesempatan ikut bekerja dalam satu forum dengannya.sesosok orang yang kemudian membayangi mimpi-mimpinya, membayangi hari-harinya. Hamid tidak tahan lagi untuk berlama-lama menghadapi soal-soal tersebut dengan pikiran butek. Dia bergegas mengambil air wudhu dan menyalakan komputer. Hamid bersyukur memiliki fasilitas komputer yang lengkap dengan modem untuk bisa akses internet. Suatu fasilitas yang belum tentu semua orang memilikinya.
Hamid membuka Microsoft outlook, membuka account miliknya. Mengecek e-mail – e-mail yang masuk di inbox-nya. Matanya menelusuri nama-nama yang tertera. Tiba-tiba tatapan matanya terhenti pada satu subject yang cukup menarik.
Katakan Saja…..
Hamid buru-buru membukanya.
Tatkala cinta menyerang hati,
Tatkala beban rindu menggelayuti batin,
Tatkala dinding pemisah semakin menebal,
Tatkala waktu berjalan semakin menjauh,
takkan ada daya untukku menahannya,
takkan ada waktu untukku menanggung bebannya
dan
takkan kuasa untukku menghindarinya
cinta menjadi bumerang
saat hanya tersimpan dalam laci mimpi
Hamid terhenyak di kursinya.
Cinta?
Itukah yang dirasakannya?
Tapi dirinya tidak begitu yakin. Selama ini dia dididik – dan mendidik dirinya sendiri – untuk meyakini bahwa cinta hanya untuk Allah dan siapa saja yang pantas untuk di cintai. Dia tidak mengenal cinta-cintaan yang sering ia dengar dari teman-temannya. Semua itu hanya bullshit atau omong kosong belaka, pikirnya.
Tapi sekarang dia sendiri terserang cinta yang seperti itu.
Hamid menghela nafas, mengusap ubun-ubunnya yang tiba-tiba terasa panas. Winamp komputernya mengalunkan lagu Munajat Cinta dengan pelan
//tuhan kirimkanlah aku / kekasih yang baik hati//
// yang mencintai aku / apa adanya//
//mawar ini semakin layu / tak ada yang memiliki //
// seperti aku ini / semakin pupus// (Munajat Cinta, The Rocks feat. Ahmad Dhani)
Jadi inikah cinta? batin Hamid.
Malam terlalu larut untuk menjawabnya.
***
Hamid memutuskan untuk menyatakan perasaannya kepada Deviani. Hal ini dianggap lebih baik daripada hati dan pikirannya terus menerus tidak tenang didera persaan yang semakin lama semakin tidak kuat untuk ditanggungnya. Namun Hamid tidak akan mengatakannya langsung kepada Devi. Itu terlalu yah, terlalu berat untuk dilakukannya. Karena walau bagaimana pun, ada sebagian hatinya yang menolak untuk melakukan hal tersebut.
Hamid mengirim e-mail kepada Devi. Menyatakan perasaannya. Harapan untuk Devi membalas perasaannya pun sempat terbersit dalam benaknya. Jujur, setelah mengatakan perasaannya, hati Hamid merasa lega. Seakan sejuta beban yang dipikulnya telah lenyap. Sedikit rasa gelisah membayangkan reaksi Devi saat membacanya e-mail darinya dan jawaban yang bakal diterimanya.
Bagaimana jika Devi bukan tipe orang yang suka diberi pernyataan cinta, pertanyaan itu sekilas melintas di benak Hamid. Akan tetapi Hamid langsung bersikap masa bodoh.
“Que sera-sera lah, whatever will be, will be!” ujarnya pelan.
***
Devi tercenung membaca e-mail yang masuk ke inbox-nya. Hal yang dia takuti terjadi. Seseorang menyatakan cinta kepadanya dan yang lebih dia takuti, seorang itu adalah orang yang juga sempat dia kagumi, Hamid.
//entah harus apalagi/ harus gimana lagi////melarikan diri darimu / adakah jurus terjitu////tuk yakinkan mu / bahwa ku tak mau////lagi bersamamu// (Jurus Terjitu, Tangga)
Lagu tersebut mengalun dari kamar adik Devi. Devi tersenyum-senyum sendiri mendengarnya.
***
Seminggu sejak Hamid mengirim e-mail kepada Devi, ada sedikit perubahan pada Devi yang dirasakan Hamid. Yang biasanya dia dan Devi bisa berbicara bebas mengenai rohis, sekarang tidak. Gadis tersebut seakan menjaga jarak darinya dan yang Hamid cemaskan, belum ada jawaban dari Devi. Sepertinya Hamid harus berbicara langsung.
“Devi!” panggil Hamid saat melihat gadis berjilbab lebar tersebut hendak keluar dari gerbang sekolah. Devi menoleh, terlihat Hamid mendekat.
“Eh, Dev. Aku…,” Hamid menjadi tergagap-gagap di hadapan Devi. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sebenarnya. Devi menunggu, tapi Hamid tidak kunjung berbicara.
“…..,” Devi tersenyum.
“Afwan, saya sekarang sedang ada keperluan. Antum buka saja inbox e-mail antum. Assalamu’alaikum…,” salam Devi seraya berlalu dari hadapan Hamid. Hamid ternganga, menjawab salam Devi dengan tergagap dan pelan. Ekor matanya mengikuti Devi sampai hilang di tikungan.
***
Hamid melempar begitu saja tas sekolah ke atas ranjangnya. Tanpa mengganti baju seragamnya terlebih dahulu, ia menghidupkan komputer. Sambil menunggu booting yang cukup lama, dia membasuh muka, mencuci tangan dan kakinya. Hamid kembali menghadapi komputernya sambil membawa segelas air yang diambil dari dapur.
Ia langsung connect ke Microsoft Outlook. Sambil menunggu proses, ia mengira-ngira jawaban apa yang diberikan Devi kepadanya. Ia tersenyum-senyum membayangkan Devi menerima cintanya. Membayangkan reaksi Hayu dan Arno yang diam-diam juga sering membicarakan Devi di belakangnya. It’s over, guys!
Mata Hamid menelusuri e-mail – e-mail yang masuk ke inbox-nya. Begitu menemukan nama Devi, dia tergesa-gesa membukanya.
From : deviani_26@yahoo.com
Subject : about me…….
Assalamu’alaikum….
Alhamdulilah, puji syukur kepada Allah yang senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada antum, sehingga antum masih diberi kesempatan untuk membaca e-mail dari Devi saat ini.
Hamid tersenyum-senyum membaca e-mail dari Devi.

Terus terang Devi kaget dan tidak menyangka antum akan mengatakan kata cinta kepada Devi. Jujur, Devi sempat merasa senang mendengar kata cinta keluar dari seorang seperti antum. Seorang yang begitu disegani banyak orang. Pernyataan cinta antum sempat membuat badai persoalan di hati dan pikiran Devi selama seminggu ini. Devi bingung harus bersikap bagaimana setelah mendengar pernyataan cinta dari antum. Namun pada akhirnya, Devi harus memutuskannya juga.
Akhi Hamid,,,,,
Pernahkah antum mendengar tentang cinta Anthony kepada Cleopatra? Karena cintanya kepada Cleopatra, Anthony rela menyerahkan seluruh daerah jajahannya, yang selama ini ia perjuangkan dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri, kepada pujaan hatinya itu… Sedemikian hebatnya dampak rasa cinta untuk membuat hal yang mustahil menjadi mungkin… tepat ketika seorang penyair mengatakan,
Karena cinta, pahit menjadi manis,
Tembaga menjadi emas,
Endapan menjadi anggur murni,
Kesedihan menjadi obat,
Yang mati menjadi hidup,
Dan karena cinta, raja menjadi budak…
Akhi Hamid…
Pernahkah antum mendengar tentang perasaan cinta kepada sesuatu secara berlebihan dapat menghilangkan rasa cinta kita kepada sesuatu dan orang-orang yang seharusnya lebih berhak mendapatkan cinta kita? Mengalahkan hal yang selama ini kita perjuangkan? Menghancurkan dan membuat kita melupakan segalanya? Melupakan cinta kita kepada Allah, kepada perjuangan kita di jalan Allah, menghancurkan cita-cita dan impian kita selama ini…
Akhi, Devi mohon, lupakan sejenak kata cinta dari bahasa komunikasi kita. Hapus sejenak kata cinta untuk menegakkan apa yang selama ini kita perjuangkan.
Devi khawatir, cinta yang muncul dan ada saat ini, hanya fragmen semu belaka. Hanya muncul dari hati kita yang masih labil. Hanya rayuan dari romantisme yang setiap hari ditawarkan oleh para penjaja cinta. Devi takut, cinta yang muncul saat ini membuat kita lupa akan cinta Allah, cinta orang-orang terdekat kita, menenggelamkan cita-cita, harapan, impian, dan perjuangan kita selama ini, membuat semuanya itu menjadi sia-sia.
Devi sama sekali tidak ada maksud untuk membuat hati antum terluka, apalagi sedih. Devi hanya tidak ingin melewatkan waktu yang sedemikian berharga ini untuk bersenang-senang belaka, demikian pula yang Devi harapkan dari antum. Kita masih terlalu muda untuk menyirami benih cinta yang ada, masih banyak yang harus kita lakukan ke depan, untuk berjuang di jalan Allah, untuk mengejar ridhoNya. Devi merasa tidak pantas kita berhura-hura di tengah krisis akhlak dan moral yang terjadi saat ini. Tak perlu kita menambah daftar hitam catatan dosa-dosa kita yang sudah terlampau banyak. Tak perlu kita menunggu dan mengartikan kata cinta…

Hamid tercenung membaca e-mail dari Devi. Mata nanar menatap monitor. Sesuatu yang menyesakkan dada, merebak ke atas, ke kelenjar airmata. Hamid sejenak merasa kecewa dengan jawaban yang didapatnya dari Devi. Namun ia segera menepis perasaan itu. Hamid bergegas mengambil air wudhu.
Air wudhu yang menyejukkan seakan ikut menyiram hati Hamid yang sempat dibakar rasa kecewa. Sambil waktu shalat Ashar, Hamid melamun, memikirkan Devi. Tiba-tiba ia merasa beruntung jatuh hati kepada seorang yang tepat. Kepada gadis yang menolak pernyataan cintanya sambil mengingatkan tentang perjuangannya di jalan Allah yang belum berakhir.
Seusai shalat, Hamid berkata dalam sujud syukurnya.
“Ya Allah, ampuni aku yang sempat melupakan cintaku kepadaMu. Terimakasih engkau telah mengirim malaikat dalam sosok Devi untuk senantiasa mengingatkanku. Terimakasih Tuhan,” bisik Hamid pelan, airmata keluar tanpa disadarinya.
…………..
karena cinta yang sesungguhnya hanyalah cinta Allah kepada makhluk ciptaanNya, cinta ibu kepada anaknya…
Sekali lagi Devi mohon, hapus kata cinta dari bahasa komunikasi kita…
Afwan jiddan…
Wassalamu’alaikum
Teman seperjuangan
//…Deviani…//
~selesai~
antum : kamu
ikhwan : laki-laki
akhwat : perempuan
afwan jiddan : maaf

Tidak ada komentar: