Rabu, 31 Oktober 2007

CERPen YaNg jaDi JuaRa 1 PKBM SakawidYa.....^^

H-I-D-A-Y-A-T!!!
CINTA DUA SAHABAT
Oleh : Septika Prismasari (SMP Negeri 9 Yogyakarta)
Memiliki sahabat pasti suatu hal yang membuat hidup kita terasa lebih ringan dalam menjalani hidup ini. Sahabat yang akan selalu ada jika kita butuhkan, yang selalu mendengarkan apa yang kita katakan dan mengerti apa yang kita rasakan.
Seperti halnya yang dialami oleh Marsya dan Ocha. Mereka berteman sejak masuk ke sekolah yang kini mereka huni. Mereka kenal saat acara persahabatan yang mengharuskan mereka bertukar tanda tangan saat masa orientasi siswa. Entah apa yang membuat mereka dekat, yang jelas selama hampir tiga tahun ini banyak kejadian yang membuat mereka semakin dekat. Meskipun banyak perbedaan di antara mereka, namun itu bukan menjadi hambatan untuk mereka jauh. Selisih paham dan beda pendapat bukan halangan untuk mereka mengerti satu sama lain. Beda watak, sifat dan bakat bukan alasan untuk mereka saling membenci.
Marsya anak yang memiliki banyak bakat dalam dirinya. Sifatnya yang supel, ambisius, dan selalu ceria menjadi senjata utama untuk bisa akrab dengan orang manapun. Sifatnya yang suka memimpin membuat dia selalu dipercayai orang lain untuk melakukan hal yang mungkin tidak bisa dikerjakan dengan sempurna oleh orang lain. Pemaaf, satu sifat yang sering diprotes Ocha. Karena saking pemaafnya Marsya, dia selalu saja diam ketika dikhianati dan disakiti oleh pacar-pacarnya dulu. Untungnya sekarang Marsya lebih bisa mengendalikan perasaannya untuk tidak terlalu gampang jatuh cinta. Itu semua tidak lepas dari campur tangan Ocha.
Ocha tidak beda jauh dengan Marsya. Banyak bakat, cerdas, dan memiliki sejuta memori kata bijak di otaknya. Hanya dia lebih kalem dan pendiam dibandingkan Marsya. Bijaksana, sehingga seringkali menjadi “diary” bagi Marsya. Tapi Ocha tidak pernah keberatan dengan itu. Dia memang tipikal anak yang lebih suka mendengarkan daripada berbicara.
Begitu dekatnya mereka dan begitu seringnya mereka menyukai hal-hal yang sama, sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa akan terjadi banyak hal yang tidak biasa terjadi di antara kisah-kisah indah persahabatan mereka. Yang harus membuat jarak antara Marsya dan Ocha jauh, terlampau jauh untuk dijangkau.
***
“Ocha!”
Kejadian itu dimulai dengan teriakan Marsya ke Ocha, yang sedang duduk di bangku depan kelasnya. Ocha kaget mendengar teriakan Marsya.
“Marsya! Apaan sih? Pagi-pagi udah teriak-teriak. Tahu diri dong! Ini sekolah, bukan lapangan. Ada apa?” hajar Ocha sambil menceramahi Marsya mengenai sopan santun dan etika bermasyarakat. Marsya hanya cengengesan mendengarnya.
“He…he.. Maaf !”
“Ada apa?”
“Beri aku ucapan selamat dong!” Ocha mengerutkan kedua alisnya.
“Dalam rangka?” Marsya tersenyum penuh rahasia.
“Ocha! Teman kamu yang paling baik ini, udah nggak jomblo lagi!” kata Marsya memamerkan senyumnya yang manis. Dua lesung pipit terbentuk di ujung bibirnya yang tertarik ke atas.
“Oya? Wah, selamat deh! Makan-makan dong!” tagih Ocha ikut senang.
“Beres!” kata Marsya sambil menyatukan ujung ibu jari dan telunjuk tangan kanannya membentuk huruf O ke hadapan Ocha.
“Tapi ngomong-ngomong, kamu jadian sama siapa sih? Anak mana?”tnya Ocha penasaran. Marsya menarik lengan Ocha, agak menjauh dari gerombolan teman-teman Ocha lainnya.
“Nah, itu pertanyaan yang aku tunggu-tunggu. Hm…Cha! Masih inget tentang cowok yang aku ceritain ke kamu beberapa hari yang lalu?” Tanya Marsya. Ocha tampak berpikir keras, berusaha mengingat-ingat.
Tiba-tiba ia menjentikkan jari tangannya di depan wajah Marsya.
“Oh, itu! Yang ngajak kamu kenalan dan ngegodain kamu lewat SMS itu kan?!” tebak Ocha. Marsya mengangguk penuh semangat.
“Iya. Dan kamu tahu siapa dia sebenarnya?” Ocha menggeleng.
“Dia teman sekelas kamu.” Ocha melongo, wajahnya masih menampakkan rasa penasaran, ingin tahu.
“Dia Dayat…”
Senyum Ocha sedikit memudar. Tapi Marsya tidak menyadari kalau ada yang berubah dari wajah Ocha, karena tak lama setelah itu, Ocha berkata.
“Wah, selamat deh! Aku ikut senang kalau sahabat aku senang,” kata Ocha. Ada sedikit kekakuan dalam kalimatnya.
“Ocha, kamu kenapa? Kok agak lesu kayak gitu? Aku salah ya?” Tanya Marsya takut menyinggung perasaan temannya. Ocha mengelak.
“Ah, nggak apa-apa kok! Sedikit pusing, nanti ulangan geografi,” ujar Ocha pelan. Marsya menepuk jidatnya mendengar kata-kata Ocha.
“Aduh, iya ya? Aku lupa kalau kita belum ujian sekolah. Aku pikir setelah Ujian Nasional, kita bisa bebas. Ternyata belum. Aduh! Oya, ini buku kamu yang kemarin aku pinjam. Makasih! Ya udah deh. Good luck ya Cha? Aku balik dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari Ocha, Marsya melesat pergi ke kelasnya, diikuti pandangan dari Ocha.
***
Ocha masuk ke kamarnya dengan perasaan galau. Ia merebahkan diri di atas tempat tidur dengan bed caver biru. Marsya yang dulu mati-matian membujuk Ocha untuk memakai bed caver warna biru. Awalnya Ocha menolak, ia lebih suka warna merah muda atau hijau muda. Tapi kata Marsya terlalu cewek. Akhirnya Ocha mengalah dan memakai bed caver warna biru sedikit matching dengan tembok kamarnya yang berwarna hijau muda. Marsya memang tipikal anak yang agak-agak tomboy dan keras kepala.
Ocha mendesah panjang lalu memejamkan mata. Sepanjang hari ini, selama lima hari ini, ia mendengarkan cerita Marsya tentang Dayat. Tentang bagaimana awal mereka jadian, tentang Dayat yang begini, begitu.
Dayat, Dayat, dan Dayat!
“Hah…” Ocha mengeluh. Entah kegalauan apa yang dirasakannya. Ia mengambil cermin, berkaca. Tiada yang kurang pada dirinya. Tidak kalah dengan Marsya. Tapi kenapa dia tidak bisa seperti Marsya? Yang bisa mendapatkan cowok yang disukainya. Kenapa dia tidak bisa blak-blakan dan terus terang seperti Marsya?
Pelan, Ocha bangun dan membuka salah satu laci meja belajarnya. Ia ambil salah satu album foto yang ada di laci tersebut. Dibukanya album itu. Album foto yang lebih didominasi dengan foto-foto Ocha dan Marsya. Tatapan mata Ocha terhenti pada salah satu foto. Foto 40 anak sekolahan dengan pose formal dan tanpa ekspresi.
Ocha mengelus foto salah satu anak yang ada di barisan tengah, tepat di samping kanan gambar dirinya. Ia mendekap foto itu sambil berbisik, pelan.
“Aku sayang sama kamu…”
***
“Jadi ini yang ingin kamu katakan?”
Ocha mengangguk pelan. Sudah lama ia memendam perasaan ini dan menyembunyikan dari sahabatnya. Ia memilih diam daripada banyak bicara. Tapi apakah dia harus terus menerus diam dan membiarkan orang yang disayanginya menjadi milik orang lain tanpa orang itu tahu perasaan yang dipendamnya selama hampir tiga tahun? Apakah ia harus selalu kalah dan mengalah?
Nggak! Aku nggak boleh terus-terusan kalah dan mengalah. Kali ini aku harus egois, batin Ocha menguatkan dirinya.
Ocha mendongak.
“Iya. Itu hal yang ingin aku sampaikan selama ini. Aku tahu, nggak sepantasnya aku melakukan hal ini, mengingatkan kamu sudah…ya begitulah! Tapi aku nggak mau kamu jadi pacar orang lain tanpa kamu tahu kalau…kalau aku…aku….sayang sama kamu,” ujar Ocha dengan volume suara yang semakin mengecil. Ia kembali menunduk. Patutkah ia melakukan hal ini ketika sahabatnya sedang pergi? Saat itu Marsya sedang ditugaskan untuk mengikuti lomba jurnalistik di luar kota oleh sekolah.
Kantin saat pagi memang begitu sepi. Tak ada anak yang ke kantin saat pagi. Cowok yang duduk di hadapan Ocha, yang tidak lain adalah Dayat, tampak tersenyum manis ketika Ocha kembali memandanginya. Senyum yang membuat Ocha salah tingkah dan kembali menunduk.
“Kamu nggak salah kalau kamu suka sama aku. Karena aku juga merasakan hal yang sama.” Kata-kata Dayat membuat Ocha kaget. Ia sama sekali tidak menyangka Dayat akan membalas perasaannya. Awalnya Ocha hanya berniat menyampaikan perasaan yang dipendamnya selama ini, tanpa berharap Dayat akan mengatakan hal yang sama karena status dia sebagai pacar Marsya.
Tapi sekarang, lain keadaannya!
“Tapi, Yat! Marsya…”
“Aku pikir, Marsya tak perlu tahu tentang kita, kan?”
Ocha tercenung. Backstreet? Di belakang sahabat? Entah apa yang dipikirkan Ocha. Tanpa memikirkan resiko yang bakal dihadapinya, Ocha tersenyum dan mengangguk.
“Iya, Marsya tidak perlu tahu tentang kita…”
***
Pelajaran hari ini tidak bisa dilalui Ocha dengan tenang. Berkali-kali pikirannya melayang kepada Marsya. Sejujurnya Ocha merasa sangat bersalah karena telah mengkhianati sahabat baiknya.
Ocha melayangkan pandangan ke arah Dayat. Kebetulan Dayat juga sedang melihat ke arah Ocha, dan melayangkan senyum manis ke arah Ocha. Ocha tampak ragu, namun sejurus kemudian ia membalas senyum Dayat. Hal itu yang membuat Ocha sesaat berpikir masa-bodoh-dengan-Marsya!
***
“Dayat! Ocha!”
Dua kata sapaan yang tidak pernah diduga sebelumnya, mengagetkan Dayat dan Ocha yang sedang asyik browsing berdua di bilik internet.
Ocha sama sekali tidakmenyangka akan tertangkap basah oleh Marsya di saat seperti ini. Bahkan Ocha tidak mampu untuk memandang wajah sahabatnya. Ia hanya tertunduk sambil memain-mainkan mouse tanpa tujuan. Lidahnya kelu, terbersit rasa bersalah di hatinya.
Dayat yang pertama kali menguasai situasi.
“Marsya! Kamu…kamu sejak kapan….a…aku jelas…” Dayat terbata-bata.
Awalnya mereka mengira Marsya akan teriak-teriak dan mengata-ngatai mereka di depan semua orang. Tapi di luar dugaan, Marsya tersenyum. Senyumnya terlihat tulus, sehingga sulit menafsirkan apakah senyum itu benar-benar tulus atau hanya sekedar kamuflase.
“Kalian lagi browsing? Tugas kelompok ya?” tanya Marsya sambil melirik layar monitor mereka.
“I…iya! Ki…kita lagi browsing, tugas biologi,” jawab Ocha sebisa ia berkata.
“Wah, sama! Aku juga baru selesai browsing untuk tugas biologi,” sahut Marsya. Lalu keheningan menyelinap di antara mereka. Tak satu pun dari mereka yang angkat bicara.
“Kelihatannya kalian masih lama. Ya sudah, aku duluan ya?” pamit Marsya yang hanya dijawab dengan anggukan kaku dari Dayat, sementara Ocha hanya diam berdiri terpaku menatap kepergian Marsya.
Dengan kepala terangkat Marsya keluar dari warung internet. Ia melangkah menuju mobil yang telah menunggunya di seberang jalan. Ia masuk, duduk di jok belakang. Masih dengan senyum seperti tadi. Bedanya, kini satu persatu bulir airmata menetes, membentuk kanal-kanal kecil di pipinya. Marsya menelan ludah, memejamkan mata. Menahan semua rasa yang bergejolak di dadanya. Dipandang warung internet yang baru saja ditinggalkannya, diingat apa yang baru saja dialaminya. Entah mengapa sebersit rasa bahagia melintas sejenak di hatinya.
Masih dengan menahan gejolak yang ada di hatinya, Marsya memberi perintah kepada sopirnya.
“Jalan, pak…”
***
Keesokan harinya, Ocha dan Dayat berjalan mendekati Marsya yang sedang duduk di kantin bersama dua orang temannya.
“Marsya!” panggil Ocha pelan. “Kita mau ngomong sesuatu sama kamu,” ujarnya pelan. Marsya menoleh ke arah Ocha, kemudian ganti memandang temannya. Dua temannya mengerti, mereka segera pergi meninggalkan Marsya.
Mereka duduk di bangku kantin,. Tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Marsya mencoba angkat bicara.
“Hm…ada apa?” tanya Marsya pelan.
“Sya, aku mau….,” kata-kata Dayat dipotong oleh Ocha.
“Marsya, aku mau minta maaf. Ini semua salah aku. Nggak seharusnya aku suka sama pacar sahabat aku sendiri. Please, jangan marah sama Dayat ya?” Ocha memohon kepada Marsya. “Aku benar-benar minta maaf. Aku memang salah. Sahabat macam apa aku ini? Tega ngekhianatin sahabat aku sendiri.” Ocha tertunduk, ia benar-benar merasa bersalah.
Sejenak keheningan kembali merasuki ruang di antara mereka. Marsya masih diam, sejurus kemudian ia tersenyum dan meraih tangan Ocha.
“Nggak apa-apa kok Cha! Aku yang salah. Selama ini aku sibuk dengan diri aku sendiri. Sampai-sampai aku tidak pernah memberi kamu kesempatan untuk cerita. Selama ini kamu sudah jadi pendengar yang baik untuk aku, tapi aku sama sekali nggak pernah tahu apa dan bagimana perasaan sahabat aku sendiri. Kamu nggak pernah salah hanya karena suka sama Dayat.” Kata Marsya. Pandangan beralih ke arah Dayat. Dayat tertunduk melihat senyum Marsya. Entah apa yang dipikirkannya.
Tiba-tiba…
“Oya! Aku ingat sesuatu,” kata Marsya sambil merogoh saku roknya. “Aku punya dua tiket bioskop Spiderman 3 untuk minggu depan. Sebenarnya ada tiga sih, tapi tadi malam diminta sepupu aku satu lembar. Tadinya aku pengen kita bertiga nonton bareng, gitu. Tapi kayaknya aku nggak bisa. Minggu depan ada acara.” Marsya menyodorkan tiket itu ke hadapan Ocha dan Dayat. “Jadi tiket ini untuk kalian.”
Ocha diam, tidak berani menyentuh tiket itu.
“Marsya, kita tetap sahabat, kan?” Marsya tertegun mendengar pertanyaan Ocha, tapi tak lama kemudian dia tertawa pelan.
“Ocha, itu pertanyaan retoris paling bodoh yang pernah aku dengar. Tentu, kita sahabat selamanya, bukan?” kata Marsya sambil menyodorkan jari kelingking ke depan Ocha. Wajahnya masih dihiasi dengan senyum manis yang sejak tadi terkembang di bibirnya. Ocha menyambut kelingking Marsya dengan sedikit kikuk.
Tiba-tiba Marsya merasa seperti ada benda keras menghantam kepalanya.
“Marsya! Hidung kamu mimisan…” tegur Dayat tertahan. Marsya menyeka bagian atas bibirnya. Darah.
“Oh, ini! Nggak apa-apa ko. Aku sering kayak gini. Kecapekan,” ujar Marsya sambil menyeka hidungnya dengan punggung tangannya.
“Pakai ini…” Dayat menyodorkan saputangan kepada Marsya.
“Terima kasih,” kata Marsya menerima saputangan yang disodorkan Dayat. Darah dari hidung Marsya tidak juga berhenti, malah semakin banyak.
“Eh, aku duluan ya? Mau ke kamar mandi.” Tanpa menunggu jawaban, Marsya melesat meninggalkan Ocha dan Dayat yang terpaku di bangku kantin, menatap kepergiannya.
Di kamar mandi, Marsya mengunci diri di salah satu bilik yang ada. Dia bersandar pada dinding kamar mandi, menghela nafas panjang, mendesah. Lagu Kesepian dari Dygta mengalun di telinganya.
Tolonglah aku dari kehampaan ini,…
Marsya memejamkan mata, ditenangkan hatinya yang lelah. Sesekali ia menyeka darah yang masih mengalir dari hidungnya. Ia tahu ini bukan mimisan biasa. Ia tahu apa yang dideritanya. Ingin rasanya ia berteriak mengeluarkan segala apa yang ada di hatinya.
Selamatkan cintaku dari hancurnya hatiku…
Marsya rela Dayat bersama Ocha, asal dia tak perlu tahu apa yang dideritanya.
Hempaskan kesendirian yang tak pernah berakhir…
Marsya rela sendiri asalkan Ocha tak perlu lagi menelan kekecewaan dan terus mengalah untuk dirinya.
Bebaskan aku dari keadaan ini, sempurnakan hidupku dari rapuhnya jiwaku…
Tapi dia tahu, itu hanya akan melemahkan dirinya. Hanya akan membuat orang lain sedih karenanya. Dia nggak mau orang lain ikut sedih hanya karena dirinya. Selama ini dia sudah cukup memikirkan dirinya sendiri. Sekarang dia harus memikirkan orang lain.
Marsya keluar dari bilik setelah merasa cukup tenang. Darah yang tersisa di sekitar hidung dibasuhnya dengan air. Lalu disekanya dengan saputangan yang sejak tadi tergenggam di tangannya.
Adakah seseorang yang melepaskanku dari kesepian ini….
Marsya tertegun menatap saputangan itu. Tanpa sadar, dua bulir airmata menetes di pipinya. Ia dekap saputangan itu di dadanya dan berbisik.
“Aku sayang kamu..”
***
Malam harinya, Dayat datang ke rumah Marsya. Sepanjang hari ia tidak bisa tenang memikirkan tentang apa yang telah dilakukannya. Dia telah mengecewakan Marsya dan hampir menghancurkan hubungan persahabatan antara keduanya.
Kini mereka berdua duduk di teras depan rumah Marsya. Lidah Dayat kelu, tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
“Marsya, aku mau minta maaf atas semua kejadian ini,” ujar Dayat setelah keheningan agak lama menyelinap di antara keduanya. Marsya tersenyum.
“Nggak apa-apa kok, Yat! Semua ini, bukan seluruhnya salah kamu,” kata Marsya sambil menerawang jauh ke atas.
“Maksud kamu?” Marsya menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Dayat. Aku dan Ocha udah cukup lama berteman. Tapi aku baru sadar, banyak hal tentang Ocha yang nggak aku ketahui. Selama ini aku hanya memikirkan diri aku sendiri. Aku datang ke Ocha sambil menangis ketika aku kecewa dan sedih. Aku juga datang ke Ocha sambil tertawa ketika aku senang. Dia juga selalu mengingatkanku saat aku salah dan menemani aku saat kesepian. Ocha selalu ada saat aku butuhin. Tapi apa balasanku? Aku bahkan tidak tahu kalau dia menyukai seseorang selama hampir tiga tahun. Sahabat macam apa aku ini?” kata-kata Marsya menyadarkan Dayat tentang siapa yang ada di hadapannya saat ini. Seseorang yang lebih mengutamakan perasaan orang lain atas nama persahabatan daripada perasaannya sendiri.
Marsya masih menerawang ke atas ketika Dayat mencermati setiap jengkal yang ada di wajahnya. Tatapannya terhenti ketika sampai di bagian atas bibir Marsya.
“Marsya, hidung kamu mimisan lagi,” tegur Dayat. Marsya cepat-cepat mengambil tisu dan mengelap darah yang keluar dari hidungnya.
“Kamu sering mimisan, ya?” tanya Dayat. Marsya hanya mengangguk. Dayat ingin bertanya lebih lanjut. Tapi tampaknya pikiran dan hati Marsya sedang tidak bersahabat dengan apa yang ingin ditanyakan Dayat.
“Dayat, aku ada permintaan ke kamu…” Dayat menoleh ke arah Marsya.
“Apa?” Marsya kembali menerawang ke atas.
“Lanjutin hubungan kamu sama Ocha, jagain dia, dan jangan peduliin aku.” Permintaan Marsya membuat Dayat kaget.
“Tapi…”
“Yat, selama ini aku terlalu egois ke Ocha. Aku merasa sama sekali belum melakukan suatu hal yang berguna untuk Ocha. Dan mungkin ini satu-satunya cara untukku menebusnya,” kata Marsya membuat Dayat bimbang.
Dayat tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh Marsya. Tapi ia tidak berani menanyakannya. Akhinya ia memilih untuk diam dan memenuhi permintaan Marsya.
“Baiklah. Untukmu, akan aku penuhi…” putus Dayat.
Marsya memandang Dayat, dan tersenyum. Ia meraih tangan Dayat, untuk terakhir kalinya, dan berkata.
“Makasih ya, Yat? Kamu udah bikin hidup aku berwarna-warni…”
Malam itu dilalui Dayat dengan seribu tanda tanya memenuhi kepalanya.
***
“Marsya, curang bgt cey? Kpn sampe?
Ktna mggu dpn ke jkt,ko jdna skrg?
Gak pamit lg! cebel!>_<…”
SMS dari Ocha yang diterima Marsya ketika sudah berada di Jakarta.
“he9. maaf de! Hbs, MnDadaK bgT!Jd gak sMpt PamiT.
Quw daH samPe Tadi Pagi. Jgn mrh DonKz!
Ocha jLk de, KaLo marh…^_^”
Kirim
^OchaBestFriend^
Sent.
“BiariN jLk! Ya Uda, gaK mRh!
Tp pLg bawa oLeh2 ya? Co JkT de… he9=P”
Marsya tertawa pelan membaca pesan yang masuk ke HP-nya.
“Ye, MaunYa!TyuZ DaYat diKemNain TuH?
He9…uDh dL ya, Cha? Quw Mw Prgi.
diAjaK ke ANcoL. LumaYan…sLm bUaT DaYat Ya? Bye…”
Kirim.
^OchaBestFriend^
Sent.
“Ya, gak KmN2. ha9. yo wis Lah!
sLm jg Buat BaduT ancOL. He9. bye…”
Marsya mengakhiri SMS-nya tepat ketika seseorang disertai personilnya yang memakai jas putih masuk ke kamar yang juga serba putih, yang didiaminya sejak tadi pagi. Ayah dan ibu Marsya tampak berdiri tegang di samping ranjang anak mereka.
“Marsya, kamu siap untuk operasi ini?” Tanya seorang dokter muda yang memakai name tag Dr. Andika Pratama di dada kanannya..
Marsya mengangguk, mantap.
“Iya, Dok! Saya siap. Saya siap dengan segala resikonya,” ujar Marsya. Dokter Andi tersenyum.
“Baiklah kalau begitu. Sekarang lebih baik kita berdoa dulu,” ajak Dokter Andi. Marsya memejamkan mata, berdoa. Cukup lama rupanya. Ketika ia membuka mata, ibunya menyeruak memeluknya sambil menangis terisak.
“Ayah, ibu. Doakan Marsya ya?” pinta anak yang semakin lemah di pembaringan kepada orang tuanya.
“Selalu, nak…,” ujar Ibu pelan sambil membelai rambut anaknya.
“Kamu harus berusaha untuk bertahan,” kata Ayah Marsya memberi semangat kepada Marsya. Marsya tersenyum. Ranjang mulai didorong oleh petugas.
“Ayah, Ibu…” panggil Marsya. “Kalau nanti operasi ini tidak berhasil, ayah dan ibu tetap sayang Marsya, kan?” Ayah dan Ibu Marsya tertegun mendengarnya. Sejurus kemudian mereka berdua tersenyum dan berkata.
“Selalu dan sampai kapanpun, kami sayang padamu…” dan menatap kepergian anaknya yang akan memasuki ruang operasi.
Beberapa personil rumah sakit mendorong Marsya memasuki ruangan yang akan menjadi pertaruhan nyawa bagi Marsya. Berbagai macam alat bertebaran di kanan kiri Marsya. Marsya sempat ketakutan, dan ketakutan itu ditangkap oleh Dokter Andi.
“Takut, Sya?” tanyanya. Marsya menelan ludah.
“Sedikit.” Dokter Andi tersenyum.
“Marsya, kamu punya seseorang yang saat ini ingin kamu temui? Pacar misalnya?” tanya Dokter Andi seperti mengerti apa yang dirasakan Marsya. Dokter-dokter yang lain tengah mempersiapkan alat-alat.
Marsya mengangguk.
“Ada, Dok. Tapi bukan pacar. Dia sahabat terbaik saya. Saya ingin sekali dia ada di sini dan menemani saya menjalani operasi ini.” Entah apa yang mendorong Marsya bercerita tentang Ocha kepada Dokter Andi.
“Nah, sekarang coba kamu pikirkan dia. Saya yakin, dia akan datang menemuimu nanti,” ujar Dokter Andi. Tapi Marsya menggeleng.
“Tidak mungkin, Dok! Ocha ada di Jogja. Dia nggak mungkin ke sini. Lagipula dia tidak tahu kalau hari ini saya operasi. Bahkan dia tidak tahu kalau saya mengidap kanker otak,” kata Marsya. Dokter muda itu etrsenyum lagi.
“Marsya, sahabat yang sesungguhnya bukan yang berada di sekitar kita. Tapi dia ada di sini, di hati kita.” Marsya termenung mendengarnya. “Sekarang pikirkan dia, dia nanti akan menemuimu dalam mimpi dan akan menemanimu, memberimu kekuatan untuk bertahan.” Marsya tersenyum, dan mengangguk mantap.
“Baiklah, Dok! Sekarang saya siap,” ujar Marsya. Dokter Andi tersenyum, entah apa maksud di balik senyumannya itu. Senyum antara harapan dan kepasrahan.
“Kamu harus bertahan, untuk sahabat kamu,” bisik Dokter Andi sambil menyuntikkan obat bius ke dalam tubuh Marsya.
“Untuk sahabat…” kata Marsya pelan sebelum matanya menutup untuk memasuki mimpi yang akan berlangsung panjang.
***
Sementara itu di sekolah, Ocha termenung membaca selembar kertas yang terselip di buku yang dipinjam Marsya beberapa waktu yang lalu.
Marsya Amalia (15 tahun)
Kanker otak stadium lanjut…..
Semacam hantaman keras tidak kelihatan menerjang dada Ocha, menyesakkan dada, naik, merasuk dan merebak di sekitar mata. Merangsang kelenjar airmata. Ocha membekap mulutnya sendiri, seakan tidak percaya.
“Nggak mungkin…”
***
“Mbak Marsya sudah lama punya penyakit parah itu. Kanker…apa tadi? Iya, kanker otak. Tapi Mbak Marsya ndak pernah mau di operasi. Dokter juga pernah bilang, kalau operasi otak itu tingkat keberhasilannya kecil. Jadi percuma, begitu kata Mbak Marsya. Tapi ndak tahu kenapa, minggu lalu Mbak Marsya minta di operasi. Ya, langsung saja mereka berangkat ke Jakarta.” Cerita Mbok Suti, orang yang banyak membantu di rumah Marsya, benar-benar mengagetkan Ocha.
“Jadi Marsya ke Jakarta untuk operasi, Mbok? Bukan acara keluarga?” tanya Ocha masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Mbok Suti menggeleng.
“Tadi Simbok dikabari, katanya tadi hari ini Mbak Marsya di operasi. Pagi ini, begitu,” kata Mbok Suti.
Ocha mengambil nafas panjang, mendesah.
***
Marsya tengah berada di padang rumput yang luas, dikelilingi bunga-bunga yang sedang bermekaran. Sangat indah. Tiba-tiba Marsya seperti melihat sesosok orang di seberang padang rumput itu.
“Ocha,” panggil Marsya. Ia berteriak keras memanggil Ocha, tapi tak satu patah kata pun keluar dari mulutnya. Ia mencoba lagi untuk berteriak, tapi tidak bisa. Ia mencoba berlari, tapi kakinya serasa dibebani dengan seribu ton timah. Ia tidak bisa melangkah, berteriak, sementara itu bayangan Ocha di seberang padang semakin menjauh dan kabur dari penglihatan Marsya.
Bibir Marsya semakin dingin, denyut nadinya semakin melemah. Ia terus mencoba mendekati Ocha, sementara atmosfer udara di sekitar Marsya berubah, semakin menipis. Marsya semakin susah untuk bernafas. Ia ambruk mencium bau tanah di padang itu, dikelilingi bunga-bunga yang sedang bermekaran dengan indahnya.
Saat itu pula detak jantungnya pun berhenti.
***
Upacara hari Senin itu benar-benar menjadi upacara paling kelabu di hidup Ocha. Ia tidak mempercayai pendengarannya mendengar kabar yang disampaikan bapak kepala sekolah.
“…….telah berpulang kepada pencipta-Nya, murid kita dan teman kalian semua, Marsya Amalia, kelas IX-3 pada….”
Ocha benar-benar tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia berbalik ke belakang sambil mati-matian menahan tangis yang sejak tadi ingin ditumpahkannya. Dayat, tepat di belakangnya, tertunduk dan menangis dalam diam.
“Dayat, tadi bohong, kan? Itu bukan Marsya, teman kita selama ini, kan?” tanya Ocha. Satu persatu bulir airmata mengalir ke pipi Ocha. Ia benar-benar berharap Dayat akan menggeleng dan mengatakan “Bukan!”. Tapi nyatanya Dayat hanya diam dan terus menangis dengan diam.
Ocha menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Nggak mungkin! Ini semua cuma mimpi! Marsya cuma pergi ke Jakarta, liburan. Bentar lagi Marsya pasti balik. Pasti…”
Tiba-tiba semua gelap bagi Ocha.
***
Di sekitar gundukan tanah merah yang masih basah dan bertaburkan bunga segar, dipenuhi oleh karang bunga yang menumpuk dari berbagai kalangan. Di sekitar gundukan itu terdapat gundukan-gundukan lain yang telah terlebih dahulu menjadi penghuni di taman yang cukup terawat. Begitu tenang dan terasa damai, jauh dari keramaian.
Perlahan-lahan para pelayat membubarkan diri. Tinggal orang tua dan adik Marsya yang bertahan di tanah merah itu. Ditambah Ocha dan Dayat yang masih berjongkok di salah satu sisi gundukan tanah segar itu.
Isakan tangis sesekali masih mewarnai suasana di sekitar nisan bertuliskan nama seseorang.
Innalilahi wainnailaihi roji’un
Marsya Amalia
binti Fachruddin
Lahir : 18 – 07 – 1991
Wafat : 09 – 05 – 2007
“Nak Ocha, kami duluan ya?” pamit sang ibu dengan mata yang sembab. Beliau mencoba tersenyum, tapi Ocha tahu itu sangat sulit dan menyakitkan.
“Iya, Tante! Silahkan…” kata Ocha pelan. Ia masih terpaku pada nisan yang bertuliskan nama sahabatnya, gundukan tanah merah yang mengandung jasad sahabat terbaiknya.
“Kak Ocha!” panggil seseorang. Ocha menoleh. Tampak Rio, adik Marsya satu-satunya, menyodorkan sesuatu ke Ocha.
“Kak Marsya nitip ini, untuk kakak.” Ocha menerimanya dengan tangan gemetar sambil berujar.
“Makasih, Rio…” Rio tersenyum. Ia tampak tidak terlalu sedih atau mungkin dia memang terlalu kecil untuk mengerti semua ini.
“Kakak bilang, kakak sayang banget sama Kak Ocha, juga sama Kak Dayat,” kata Rio. Selesai berkata, ia berlari pergi mengikuti orang tuanya untuk pulang.
Ocha terdiam.
Dibukanya lipatan kertas itu dengan hati-hati, dibacanya perlahan. Sesuatu menyesakkan kembali memenuhi rongga-rongga yang ada di dadanya.ocha terisak. Dayat memegang bahu Ocha, mencoba menguatkan. Meskipun ia turut meneteskan airmata dan menangis tanpa isak.
Ocha sahabatku…
Pernah kita rangkai bunga cerita di atas kertas persahabatan. Pernah kita jalin tali-tali tawa yang tercipta lewat kata-kata yang keluar dari mulut kita. Pernah kita mencoba mengikuti jejak-jejak filsuf yang terkenal lewat kisah persahabatannya.
Dulu kamu pernah berkata, hati manusia itu seperti cokelat. Biar dia luluh, hancur dan mencair, ia tetap bisa dibentuk seperti semula. Sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk putus asa dan menyerah tanpa perjuangan melewati hidup ini. Kalah, sebelum bertanding.
Dulu aku juga pernah bilang, persahabatan itu seperti secangkir cappuccino. Semuanya tercampur dalam satu paduan. Ada manis, pahit, tawar. Tapi semua itu menjadi satu komponen yang saling mendukung. Sehingga tidak ada yang salah jika dalam persahabatan ada selisih paham dan persaingan.
Matahari semakin redup. Ocha menutup mulutnya. Airmata semakin deras mengalir di pipinya.
Kamu juga tentu masih ingat, tentang seorang filsuf yang mengatakan bahwa kisah-kisah persahabatan akan selalu lebih indah daripada kisah-kisah cinta yang hanya bercerita tentang indahnya cinta dan sakitnya patah hati. Tapi persahabatan tidak sesempit itu. Lewat persahabatan kita tidak hanya tahu manisnya cinta, tapi juga arti hidup, semangat perjuangan, dan kasih sayang.
Tetesan airmata jatuh di atas kertas, surat terakhir yang diberikan Marsya kepadanya. Ocha kembali terisak. Dayat yang selalu ada di samping mencoba menenangkan, meskipun dalam hatinya ia merasakan hal yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Ocha.
Saat kamu baca surat ini, itu berarti aku tak lagi ada di sampingmu. Tapi kamu harus tahu, jika dalam hidupku aku selalu mengingatmu, maka aku pun pergi dalam mengingatmu pula…
Ocha,
Diakhir kepergianku, di saat aku merasa jauh dari kamu dan merasakan kesepian yang setiap saat mengisi relung-relung hampa di hati ini, aku baru menyadari…
Kamu yang selalu ada setiap aku membutuhkan sesosok orang untuk menemani sepinya hatiku yang rapuh. Kamu yang selalu menuntunku saat aku tak tahu ke mana kakiku harus melangkah, menamparku saat aku mulai melangkah ke arah yang salah. Kamu obor semangat ketika api semangatku mulai redup. Kamu cahaya lilin saat aku mulai tersesat dalam kegelapan dan terjerumus dalam kegalauan. Kamu tongkat yang membantuku berdiri ketika aku terjatuh di jalan yang muram. Kamu tali ketika aku terperosok ke dalam jurang keputusasaan…
Dan ketika aku berpikir tentang cinta, aku tidak lagi membutuhkannya karena aku tahu bahwa dia selalu ada di dekatku…
……
***
Hari ini adalah pengumuman hasil Ujian Nasional. Hasilnya ditempel di sebuah papan pengumuman sekolah. Nama-nama anak yang lulus tertera bersama dengan nilai yang dicapai mereka.
Ocha ikut berdesakan di antara kerumunan teman-temannya. Matanya nanar menatap papan itu.
….
15. Arif Reinaldi Hidayat 28,64
16. ….
17. ….
18. Janita Ocha Alkarisya 28, 43
….
“Yes, berhasil!” sorak Ocha dalam hati. Matanya kembali mencermati nama-nama yang terpampang di papan. Pandangan terpaku pada satu nama di barisan atas.
2. ….
3. ….
4. Marsya Amalia 29,23
….
Ocha tersenyum. Berkata dalam hati
“Kau lihat, sobat? Dulu kau selalu bilang kalau kita nggak boleh menyerah sebelum bertanding. Apapun hasilnya yang penting kita jalani dulu. Perjuangan tidak pernah sis-sia. Kini kau buktikan hal itu. Kau jadi yang terbaik. Mungkin bukan untuk orang lain, tapi kau selalu jadi yang terbaik di hatiku,” batin Ocha. “Aku tahu, kamu tak mungkin membalas kata-kataku ini dengan celotehanmu seperti dulu, tapi aku yakin kau mendengarku.”
Ocha tersenyum lagi, ia yakin Marsya pun merasakan hal sama dengan dirinya.
….
Jika kamu berpikir tentang aku, maka aku akan ada untukmu. Bukan di depan atau di belakangmu, bukan pula di samping kanan ataupun samping kirimu…
Tapi aku ada di sini…
Di dalam hati…
Dan di dalam ingatanmu…
Meski di akhir pertemuan dan kepergianku kita tidak bisa saling memberi senyum manis dan mengucapkan kata-kata perpisahan, karena memang kita tidak akan terpisahkan, kamu tetaplah sahabat terbaikku. Dan kita tunjukkan kepada semua orang, betapa persahabatan kita tidak mengenal dimensi ruang dan waktu….
-MarsYa-
~selesai~

KawaN!!! da Puisi Bagoos Lhew!!!! dari Sheelagh Lennon....taUk gagh???

A Special World
A special world for you and me
A special bond one cannot see
It wraps us up in its cocoon
And holds us fiercely in its womb.
Its fingers spread like fine spun gold
Gently nestling us to the fold
Like silken thread it holds us fast
Bonds like this are meant to last.
And though at times a thread may break
A new one forms in its wake
To bind us closer and keep us strong
In a special world, where we belong.

CeRpeN aKoo yaNg IkUt LomBa SePteMbeR KeMaReN!!!!!


CINTA ANAK ROHIS
Oleh : Septika Prismasari (SMA Negeri 5 Yogyakarta)
Gemerisik daun yang digoyangkan oleh angin yang berhembus di halaman masjid sekolah menambah kesejukan yang sudah terasa di tempat ibadah nan suci itu. Memanjakan segerombolan anak-anak yang tengah asyik berbincang di serambi masjid tersebut.
“Mid, gimana nih? Rencana untuk baksos udah beres?” tanya Arman. Yang ditanya tengah sibuk dengan buku agendanya yang berisi penuh dengan hasil-hasil perundingan dan janji-janji yang bejibun banyak sekali jumlahnya.
“Yo’i, man. Udah beres semua. Tapi nggak menutup kemungkinan kalau ada yang mau menambah sumbangan lagi…” ujar Hamid, si ketua rapat pada hari itu, sejenak menatap Arman lalu meneruskan mencatat di agendanya. Anggota lain ikut mencatat di catatan masing-masing.
“Baiklah, cukup sekian rapat hari ini. Kalau ada yang masih perlu dibicarakan, bisa dibicarakan setelah forum ini selesai. Saya akhiri, wassalamu’alakum…” salam Hamid mengantumri perundingan yang telah berlangsung sejak tadi, disambut dan dijawab salam oleh seluruh anggota rapat, yang seluruhnya adalah ikhwan.
Rapat berakhir, para anggota mengemasi barang-barang mereka.
“Mid, gimana perkembangan terakhir kasus Angga?” tanya Arman kepada Hamid. Sejenak Hamid menghentikan gerakan tangannya yang hendak memasukkan agendanya ke dalam tas, lalu menghela nafas.
“Auk lah, Man. Aku sih sudah ngomong secara pribadi sama Angga, coba jelasin kedudukan dia di organisasi ini,” kata Hamid seraya mengemasi barang-barangnya.
“Hmm, terus tanggapan dia gimana?” tanya Dimas, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan dialog antara Hanid dan Arman.
“Masih susah, Dim! Sebenarnya aku nggak begitu posesif terhadap teman-teman kita yang suka pacaran, tapi ayo lah…. Sadar dong, kita ini aktivis rohis, yang punya tujuan untuk menjauhkan atau ngalihin perhatian remaja dari hal-hal nggak bener kayak gitu. Kalau pengurusnya saja kayak gitu, di mana konsistensi kita? Apa kata dunia?!” jelas Hamid dengan gayanya yang sok cool, gaya Deddy Mizwar dalam film Nagabonar Jadi 2-nya.
“Hmm, bisa dipahami, lalu apa rencana kamu ke depan?” tanya Arman dengan lagaknya yang sok serius banget. Dimas nyengir untuk menahan tawanya, melihat dua orang teman dekatnya yang kelihatan – dan mungkin juga merasa – sok penting itu. Tetapi memang masalah yang mereka bicarakan penting sih. Menyangkut nama baik organisasi yang mereka pegang.
“Tauk lah! Belum ada rencana ke depan. Susah! Yah, namanya juga orang yang lagi jatuh cinta,” gerutu Hamid sambil menyampirkan tas ke pundaknya.
“Emang kamu pernah jatuh cinta, Mid?!” celetuk Dimas sok polos, yang disambut tawa cekakakan Arman. Hamid melotot ke arah Dimas dengan pandangan yang seakan mengatakan Gue – makan – lu – hidup – hidup!
***
SMA Negeri Puspanegara patut merasa bangga. Meski berdomisili di daerah pinggiran, tapi kegiatan-kegiatan yang positif selalu menggebrak dan membuat sekolah lain merasa iri membuat sekolah tersebut patut diperhitungkan.
Satu hal yang begitu dibanggakan dari sekolah ini adalah Organisasi Rohis (Rohani Islam) yang selalu aktif dan mengadakan acara-acara yang positif. Hamid Pradana, ketua Rohis saat ini, yang terkenal dengan ketegasan dan kedisiplinannya, menjadikan rohis semakin menebalkan kesungguhan mereka dalam menegakkan agama yang mereka yakini tersebut. Tetapi bukan berarti mereka menjadi fanatik dan tertutup dengan pergaulan luar. Gaul tetap menjadi keseharian mereka. Malu lah, masak anak rohis gaptek?! Rohis mereka jalankan dengan tegas. Contoh saja kasus si Angga, anggota Rohis divisi wirausaha (yang bertugas mencari-cari dana). Kabarnya dia pacaran dengan juniornya, anak kelas 10. Kontan Hamid, yang notabene secara pribadi anti banget sama yang namanya kayak gitu – apalagi menyangkut organisasi – langsung menemui Angga untuk meminta kejelasan kabar tersebut.
Hamid tidak ingin nama baik suatu organisasi menjadi jelek hanya karena satu orang saja yang menyimpang. Kalau kata pepatah, ibarat nila setitik rusak susu sebelanga. Rugi banget kan? Hamid pribadi berprinsip pacaran hanya akan membuat waktunya sia-sia. Ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu mudanya hanya untuk hal-hal yang nggak bermanfaat. Ia bertekad untuk bersabar demi mendapatkan yang terbaik untuk dirinya.
Tapi ketika cinta datang siapa yang kuasa untuk menolak dan menghindarinya?
***
Istirahat sekolah, ruang kelas…
“Mid, nanti ada jadwal rapat Rohis. Yang akhwat pengen kolaborasi sama ikhwan untuk kegiatan untuk baksosnya. Ini materinya,” ujar Friska sambil menyerahkan map yang berisi berkas-berkas penting.
Hamid berhenti mengerjakan tugas fisika yang belum terselesaikan saat jam pelajaran tadi.
“Thanks ya, Ka!” sahut Hamid, meraih map, sejenak melirik Friska. “Makin cantik aja, Ka! Haha….”
Friska mendelik.
“Simpen kata-kata lu. Kalau nggak, gue gibak lu!” mendadak hormon preman Pasar Minggu Friska muncul. Hamid tertawa melihat gadis pindahan dari kota metropolitan itu mengancamnya. Gadis yang baru saja masuk di organisasi Rohis itu belum sepenuhnya terlihat layaknya akhwat rohis lainnya. Tapi untungnya dia masih mau mengenakan jilbabnya. Yah, permulaan yang lumayan baik untuk gadis yang terbiasa di pergaulan yang agak bebas, batin Hamid.
Hamid membuka-buka dan membaca sekilas berkas yang dibuat kelompok akhwat.
Hm, cukup bagus juga mereka memperhitungkan hal-hal ini, batin Hamid.
Ia diam-diam mengagumi kinerja teman-teman akhwatnya. Selama ini kelompok ikhwan tidak begitu dekat dengan kelompok akhwat, padahal sebenarnya mereka bekerja dalam satu forum yang sama. Hamid sendiri mengakuinya. Dirinya merasa tidak begitu bisa berkonsentrasi jika harus berdiskusi dengan kelompok rohis perempuan. Biasanya dia menyuruh orang lain untuk mewakilinya. Tetapi saat ini tampaknya ia harus berhadapan dengan para akhwat karena sangat berkaitan dengan kesuksesan program kerja rohis.
Hamid membaca daftar nama-nama yang berperan sebagai panitia. Ia mencoba mengira-ngira kemampuan teman-temannya dalam mengkoordinir acara.
Annisa Marestia, anak IPA 4, Hamid mengenalnya. Ketua panitia pengajian Isra’ Miraj bulan lalu yang bisa dibilang sukses. Annisa berhasil menarik perhatian anak-anak untuk hadir dengan tema yang diambil untuk pengajian tersebut, “Keajaiban Isra’ Miraj dengan Logika Sains”.
Ayu Nindyasari, anak IPS 2, sangat dikenal Hamid. Koordinator panitia ulang tahun sekolah, sukses dengan acara bedah buku yang dipimpinnya. Ayu berhasil mendatangkan pengarang buku “The Great Mother of Power”, yang mampu menyerap hampir dua per tiga siswa SMA Puspanegara.
Dinda Farisa, anak Bahasa 1. Sukses sebagai ketua panitia pagelaran musik dalam rangka pekan seni dan kreativitas. Berhasil mendatangkan band Jagostu dan menggaet sejumlah sponsor dalam jumlah besar.
Hm, susunan panitia yang bagus. Banyak anak-anak yang berpotensi leadership masuk jadi panitia, batin Hamid. Matanya terus menelusuri daftar nama-nama yang ada.
“Mid!” panggil Arno, teman sekelasnya, sambil menghampiri meja Hamid. Yang dipanggil mendongak.
“Kamu tahu Deviani? Anak rohis juga. Dia ikut panitia baksos nggak?” tanya Arno. Hamid mengerutkan dahi, lalu mencoba mencari nama Deviani dalam daftar. Telunjuknya menelusuri kertas.
“Ada nih, No. Deviani Puspita, anak IPS 5. Dia ikut panitia. Emang kenapa?” tanya Hamid keheranan melihat Arno tampak kegirangan mendengarnya.
“Beneran? Wah, gila Mid! Kayaknya aku harus ikut acara baksos ini deh!” ujar Arno cengar-cengir nggak jelas. Membuat Hamid makin penasaran.
“Kamu kenapa, No? Emang si Deviani ini siapa sih?!” tanya Hamid tidak mengerti kelakuan temannya.
“Hah? Kamu nggak tahu Deviani, Mid?” tiba-tiba Hayu ikut menyahut. “Kamu nggak tahu?”
Hamid menggeleng. Hayu menepuk jidatnya sendiri.
“Aduh! Lu jadi orang cupu banget sih, Mid? Katanya ketua rohis yang gaul tapi syar’i, masak ada akhwat kiyut kayak Deviani ini kamu nggak tahu?!” keluh Hayu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Arno ikut-ikutan heran.
“Mid, masih normal sebagai laki-laki kan?!” tanya Arno, menyenggol bahu Hamid, agak keras. Hamid meringis, nyengir. Hayu dan Arno saling berpandangan, tidak mengerti.
Bel masuk berbunyi. Anak-anak IPA 1 yang memang terkenal tertib, bergegas menempatkan diri di kursi masing-masing. Hamid menyimpan berkas-berkas di dalam laci mejanya. Rasa penasaran memenuhi hatinya.
Deviani, siapa sih? batin Hamid.
***
Serambi masjid, pulang sekolah.
“Jadi baksos untuk anak jalanan ini kita konsep sedemikian untuk memudahkan kita dalam distribusi dan pengenalan antara mana anak jalanan dengan yang pura-pura jadi anak jalanan. Demikian yang dapat saya sampaikan,” kata Annisa menguraikan hasil rapat mereka dengan singkat kepada Hamid dan anggota rohis yang hadir di musyawarah siang itu.
Hamid mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Annisa.
“Bagus. Konsep kalian cukup jelas dan terperinci. Terus terang saya saja belum berpikir sejauh itu,” puji Hamid seraya mengaku. Beberapa akhwat saling berpandangan dan tersenyum.
“Tapi itu baru teorinya. Dalam pelaksanaannya belum tentu selancar dengan apa yang tertulis di atas kertas,” bantah salah seorang anggota. Annisa menoleh sejenak kepada orang yang barusan berbicara.
“Ya, itu memang baru hitam di atas putih. Tapi bagaimana kita tahu kalau kita belum mencobanya sama sekali?!” sangkal Annisa dengan tegas dan gayanya yang meyakinkan.
Hamid mengangkat tangan, ketika orang tersebut terlihat ingin membantah lagi.
“Saya setuju dengan gagasan dari teman-teman akhwat. Ini program yang sama sekali baru dan belum pernah ada sebelumnya dalam program-program organisasi rohis sebelum kita. Jadi kita tidak akan pernah tahu hasilnya kalau kita tidak mencobanya dan saya rasa, ini sesuai dengan program baksos ke panti asuhan yang kita programkan pada awal pertemuan. Saya, secara pribadi, setuju dengan konsep yang diajukan oleh teman-teman akhwat. Mungkin ada pendapat dari teman-teman lain?” tawar Hamid kepada para anggota. Tak ada yang bersuara. Dimas mengangkat tangan.
“Saya rasa program dan konsep tersebut patut dicoba,” kata Dimas setelah diberi kode untuk berbicara. Anggota lain tampak mengangguk-angguk setuju.
“Baiklah. Saya rasa teman-teman setuju dengan konsep ini. Annisa, koordinator lapangan program ini siapa?” tanya Hamid kepada Annisa.
Annisa hendak menjawab ketika seorang datang memasuki serambi masjid diiringi salam.
“Assalamu’alaikum….” yang dijawab oleh seluruh yang hadir di serambi tersebut. Sosok gadis tersebut tersenyum manis, menarik seluruh perhatian ikhwan yang ada, tak terkecuali Hamid.
“Afwan jiddan, saya terlambat. Tadi ada keperluan dengan guru.” jelas gadis tersebut, tegas tapi terdengar seperti seruling malaikat di telinga para ikhwan. Hamid sendiri tampak salah tingkah, ragu antara menjaga pandangan dengan keinginan untuk memperhatikan lagi wajah akhwat yang manis tersebut.
“E…eh! Baik, silahkan duduk,” kata Hamid mencoba menegaskan suaranya.tapi tetap saja dia merasa ada yang bergetar dalam suaranya. Gadis tersebut mengambil tempat di sebelah Annisa. Wajahnya yang menenangkan dan matanya yang bening tampak jelas memancarkan kejernihan hatinya. Hamid mencoba kembali berkonsentrasi.
“Nah, ini koordinator lapangan program ini, Mid. Namanya Deviani, anak IPS 5. Anak baru sih, tapi dia pernah punya pengalaman menangani acara seperti ini. Sekalian saja kita jadikan ajang ini untuk mengetes kemampuannya. Iya kan, Dev?” kata Annisa nyengir sambil merangkul gahu gadis, yang ternyata bernama Deviani, meminta persetujuan. Deviani hanya mengangguk, tersenyum.
Hamid terpana.
Jadi ini tho, akhwat yang diributin Hayu sama Arno tadi. Manis juga, batin Hamid memuji. Tiba-tiba Hamid merasa bersalah, berlama-lama memandang cewek yang ada di hadapannya. Dia menundukkan mata. Tuhan, ampuni aku! batinnya.
“O, anak baru? Pantas saja aku asing melihat kamu. Hm, kalau gitu, kenalan dulu saja,” kata Arman, yang berada di belakang Hamid. Sekali lagi, Deviani tersenyum.
“Baiklah! Perkenalkan nama saya Deviani Puspita, kelas IPS 5. Saya baru dua bulan di sini.” ujar Deviani mengantumri perkenalannya yang singkat.
“Deviani…” panggil seseorang.
“Panggil saja Devi.” sahut Devi cepat. Masih dengan intonasi yang tegas, tidak menimbulkan kesan mendayu-dayu pada diri gadis pindahan dari Bandung tersebut.
“Devi, nomor HP berapa?” pertanyaan yang disambut teriakan koor “Huuu….,” dari anggota yang hadir. Deviani tertawa perlahan. Kondisi akan terus seperti itu jika Hamid tidak segera menetralisir.
Rapat selesai. Tetapi menimbulkan sebercak sesuatu yang lain di hati Hamid.
***
Base camp anak jalanan, acara bakti sosial rohis SMA Puspanegara.
“Wuih, gila! Nggak nyangka bakal sesukses ini, Mid!” teriak Arman menghampiri Hamid yang mengawasi anak-anak jalanan yang sedang beristirahat dengan wajah sumringah. Hamid mengangguk.
“Iya. Kayaknya program ini harus jadi program rutin rohis, deh!” ujarnya.
“Devi juga keren, Mid. Bisa ngoordinir acara ini dengan perfect banget,” sahut Hayu.
“Orangnya juga manis,” kata Arno, yang disambut dengan hujan jitakan dari teman-temannya. Hamid ikut nyengir, ekor matanya tanpa sengaja menangkap sosok Deviani yang masih membagikan nasi bungkus kepada anak jalanan.
Deviani…
Hati Hamid bergetar saat mengucapkan nama itu dalam hatinya.
***
Malam hari, Hamid’s Private Room.
Hamid merasa tidak bisa berkonsentrasi untuk memahami sejumlah soal yang ada di hadapannya. Pikirannya terus melayang kepada sesosok orang yang dalam beberapa kesempatan ikut bekerja dalam satu forum dengannya.sesosok orang yang kemudian membayangi mimpi-mimpinya, membayangi hari-harinya. Hamid tidak tahan lagi untuk berlama-lama menghadapi soal-soal tersebut dengan pikiran butek. Dia bergegas mengambil air wudhu dan menyalakan komputer. Hamid bersyukur memiliki fasilitas komputer yang lengkap dengan modem untuk bisa akses internet. Suatu fasilitas yang belum tentu semua orang memilikinya.
Hamid membuka Microsoft outlook, membuka account miliknya. Mengecek e-mail – e-mail yang masuk di inbox-nya. Matanya menelusuri nama-nama yang tertera. Tiba-tiba tatapan matanya terhenti pada satu subject yang cukup menarik.
Katakan Saja…..
Hamid buru-buru membukanya.
Tatkala cinta menyerang hati,
Tatkala beban rindu menggelayuti batin,
Tatkala dinding pemisah semakin menebal,
Tatkala waktu berjalan semakin menjauh,
takkan ada daya untukku menahannya,
takkan ada waktu untukku menanggung bebannya
dan
takkan kuasa untukku menghindarinya
cinta menjadi bumerang
saat hanya tersimpan dalam laci mimpi
Hamid terhenyak di kursinya.
Cinta?
Itukah yang dirasakannya?
Tapi dirinya tidak begitu yakin. Selama ini dia dididik – dan mendidik dirinya sendiri – untuk meyakini bahwa cinta hanya untuk Allah dan siapa saja yang pantas untuk di cintai. Dia tidak mengenal cinta-cintaan yang sering ia dengar dari teman-temannya. Semua itu hanya bullshit atau omong kosong belaka, pikirnya.
Tapi sekarang dia sendiri terserang cinta yang seperti itu.
Hamid menghela nafas, mengusap ubun-ubunnya yang tiba-tiba terasa panas. Winamp komputernya mengalunkan lagu Munajat Cinta dengan pelan
//tuhan kirimkanlah aku / kekasih yang baik hati//
// yang mencintai aku / apa adanya//
//mawar ini semakin layu / tak ada yang memiliki //
// seperti aku ini / semakin pupus// (Munajat Cinta, The Rocks feat. Ahmad Dhani)
Jadi inikah cinta? batin Hamid.
Malam terlalu larut untuk menjawabnya.
***
Hamid memutuskan untuk menyatakan perasaannya kepada Deviani. Hal ini dianggap lebih baik daripada hati dan pikirannya terus menerus tidak tenang didera persaan yang semakin lama semakin tidak kuat untuk ditanggungnya. Namun Hamid tidak akan mengatakannya langsung kepada Devi. Itu terlalu yah, terlalu berat untuk dilakukannya. Karena walau bagaimana pun, ada sebagian hatinya yang menolak untuk melakukan hal tersebut.
Hamid mengirim e-mail kepada Devi. Menyatakan perasaannya. Harapan untuk Devi membalas perasaannya pun sempat terbersit dalam benaknya. Jujur, setelah mengatakan perasaannya, hati Hamid merasa lega. Seakan sejuta beban yang dipikulnya telah lenyap. Sedikit rasa gelisah membayangkan reaksi Devi saat membacanya e-mail darinya dan jawaban yang bakal diterimanya.
Bagaimana jika Devi bukan tipe orang yang suka diberi pernyataan cinta, pertanyaan itu sekilas melintas di benak Hamid. Akan tetapi Hamid langsung bersikap masa bodoh.
“Que sera-sera lah, whatever will be, will be!” ujarnya pelan.
***
Devi tercenung membaca e-mail yang masuk ke inbox-nya. Hal yang dia takuti terjadi. Seseorang menyatakan cinta kepadanya dan yang lebih dia takuti, seorang itu adalah orang yang juga sempat dia kagumi, Hamid.
//entah harus apalagi/ harus gimana lagi////melarikan diri darimu / adakah jurus terjitu////tuk yakinkan mu / bahwa ku tak mau////lagi bersamamu// (Jurus Terjitu, Tangga)
Lagu tersebut mengalun dari kamar adik Devi. Devi tersenyum-senyum sendiri mendengarnya.
***
Seminggu sejak Hamid mengirim e-mail kepada Devi, ada sedikit perubahan pada Devi yang dirasakan Hamid. Yang biasanya dia dan Devi bisa berbicara bebas mengenai rohis, sekarang tidak. Gadis tersebut seakan menjaga jarak darinya dan yang Hamid cemaskan, belum ada jawaban dari Devi. Sepertinya Hamid harus berbicara langsung.
“Devi!” panggil Hamid saat melihat gadis berjilbab lebar tersebut hendak keluar dari gerbang sekolah. Devi menoleh, terlihat Hamid mendekat.
“Eh, Dev. Aku…,” Hamid menjadi tergagap-gagap di hadapan Devi. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sebenarnya. Devi menunggu, tapi Hamid tidak kunjung berbicara.
“…..,” Devi tersenyum.
“Afwan, saya sekarang sedang ada keperluan. Antum buka saja inbox e-mail antum. Assalamu’alaikum…,” salam Devi seraya berlalu dari hadapan Hamid. Hamid ternganga, menjawab salam Devi dengan tergagap dan pelan. Ekor matanya mengikuti Devi sampai hilang di tikungan.
***
Hamid melempar begitu saja tas sekolah ke atas ranjangnya. Tanpa mengganti baju seragamnya terlebih dahulu, ia menghidupkan komputer. Sambil menunggu booting yang cukup lama, dia membasuh muka, mencuci tangan dan kakinya. Hamid kembali menghadapi komputernya sambil membawa segelas air yang diambil dari dapur.
Ia langsung connect ke Microsoft Outlook. Sambil menunggu proses, ia mengira-ngira jawaban apa yang diberikan Devi kepadanya. Ia tersenyum-senyum membayangkan Devi menerima cintanya. Membayangkan reaksi Hayu dan Arno yang diam-diam juga sering membicarakan Devi di belakangnya. It’s over, guys!
Mata Hamid menelusuri e-mail – e-mail yang masuk ke inbox-nya. Begitu menemukan nama Devi, dia tergesa-gesa membukanya.
From : deviani_26@yahoo.com
Subject : about me…….
Assalamu’alaikum….
Alhamdulilah, puji syukur kepada Allah yang senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada antum, sehingga antum masih diberi kesempatan untuk membaca e-mail dari Devi saat ini.
Hamid tersenyum-senyum membaca e-mail dari Devi.

Terus terang Devi kaget dan tidak menyangka antum akan mengatakan kata cinta kepada Devi. Jujur, Devi sempat merasa senang mendengar kata cinta keluar dari seorang seperti antum. Seorang yang begitu disegani banyak orang. Pernyataan cinta antum sempat membuat badai persoalan di hati dan pikiran Devi selama seminggu ini. Devi bingung harus bersikap bagaimana setelah mendengar pernyataan cinta dari antum. Namun pada akhirnya, Devi harus memutuskannya juga.
Akhi Hamid,,,,,
Pernahkah antum mendengar tentang cinta Anthony kepada Cleopatra? Karena cintanya kepada Cleopatra, Anthony rela menyerahkan seluruh daerah jajahannya, yang selama ini ia perjuangkan dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri, kepada pujaan hatinya itu… Sedemikian hebatnya dampak rasa cinta untuk membuat hal yang mustahil menjadi mungkin… tepat ketika seorang penyair mengatakan,
Karena cinta, pahit menjadi manis,
Tembaga menjadi emas,
Endapan menjadi anggur murni,
Kesedihan menjadi obat,
Yang mati menjadi hidup,
Dan karena cinta, raja menjadi budak…
Akhi Hamid…
Pernahkah antum mendengar tentang perasaan cinta kepada sesuatu secara berlebihan dapat menghilangkan rasa cinta kita kepada sesuatu dan orang-orang yang seharusnya lebih berhak mendapatkan cinta kita? Mengalahkan hal yang selama ini kita perjuangkan? Menghancurkan dan membuat kita melupakan segalanya? Melupakan cinta kita kepada Allah, kepada perjuangan kita di jalan Allah, menghancurkan cita-cita dan impian kita selama ini…
Akhi, Devi mohon, lupakan sejenak kata cinta dari bahasa komunikasi kita. Hapus sejenak kata cinta untuk menegakkan apa yang selama ini kita perjuangkan.
Devi khawatir, cinta yang muncul dan ada saat ini, hanya fragmen semu belaka. Hanya muncul dari hati kita yang masih labil. Hanya rayuan dari romantisme yang setiap hari ditawarkan oleh para penjaja cinta. Devi takut, cinta yang muncul saat ini membuat kita lupa akan cinta Allah, cinta orang-orang terdekat kita, menenggelamkan cita-cita, harapan, impian, dan perjuangan kita selama ini, membuat semuanya itu menjadi sia-sia.
Devi sama sekali tidak ada maksud untuk membuat hati antum terluka, apalagi sedih. Devi hanya tidak ingin melewatkan waktu yang sedemikian berharga ini untuk bersenang-senang belaka, demikian pula yang Devi harapkan dari antum. Kita masih terlalu muda untuk menyirami benih cinta yang ada, masih banyak yang harus kita lakukan ke depan, untuk berjuang di jalan Allah, untuk mengejar ridhoNya. Devi merasa tidak pantas kita berhura-hura di tengah krisis akhlak dan moral yang terjadi saat ini. Tak perlu kita menambah daftar hitam catatan dosa-dosa kita yang sudah terlampau banyak. Tak perlu kita menunggu dan mengartikan kata cinta…

Hamid tercenung membaca e-mail dari Devi. Mata nanar menatap monitor. Sesuatu yang menyesakkan dada, merebak ke atas, ke kelenjar airmata. Hamid sejenak merasa kecewa dengan jawaban yang didapatnya dari Devi. Namun ia segera menepis perasaan itu. Hamid bergegas mengambil air wudhu.
Air wudhu yang menyejukkan seakan ikut menyiram hati Hamid yang sempat dibakar rasa kecewa. Sambil waktu shalat Ashar, Hamid melamun, memikirkan Devi. Tiba-tiba ia merasa beruntung jatuh hati kepada seorang yang tepat. Kepada gadis yang menolak pernyataan cintanya sambil mengingatkan tentang perjuangannya di jalan Allah yang belum berakhir.
Seusai shalat, Hamid berkata dalam sujud syukurnya.
“Ya Allah, ampuni aku yang sempat melupakan cintaku kepadaMu. Terimakasih engkau telah mengirim malaikat dalam sosok Devi untuk senantiasa mengingatkanku. Terimakasih Tuhan,” bisik Hamid pelan, airmata keluar tanpa disadarinya.
…………..
karena cinta yang sesungguhnya hanyalah cinta Allah kepada makhluk ciptaanNya, cinta ibu kepada anaknya…
Sekali lagi Devi mohon, hapus kata cinta dari bahasa komunikasi kita…
Afwan jiddan…
Wassalamu’alaikum
Teman seperjuangan
//…Deviani…//
~selesai~
antum : kamu
ikhwan : laki-laki
akhwat : perempuan
afwan jiddan : maaf

Jumat, 26 Oktober 2007

dunia makin gagh bersahabat......

dunia kayaknya lagi nggak adil sama akoo.....

dunia akoo sekarang hampa.....

sahabat-sahabatku mulai gagh loyal laghe...

orang yang akoo sayangi pergi.....

hikzzzz...........
KaUWanD,,,,
SepTika Punya BloG Lhew......
.....^^......
TeRbuKa BuaT KaLiaN seMua.........